Bukan Air Mata Terakhir Untuk Andalusia

Daftar Isi

 


“Menangislah! Kini engkau menangis seperti perempuan yang kehilangan,
padahal engkau tidak mampu menjaga kerajaan layaknya laki-laki yang perkasa,”
ucap
Aisyah Al-Hurrah kepada putranya.

Air mata yang begitu deras, mengalir membasahi jenggotnya. Laki-laki itu
tersedu-sedu sembari menatap Istana Al Hambra yang baru saja ia tinggalkan bersama
kejayaan yang pernah terukir di dalamnya. Tangisan memilukan itu terjadi pada tanggal
2 Rabiul Awal 897 H atau bertepatan dengan 2 Januari 1492 M. Kini, bukit yang
menjadi saksi tumpahnya air mata sang raja terakhir yang mengutup episode kejayaan
peradaban Islam di Andalusia dikenal dengan sebutan “Puerto del Suspiro del Moro”
yang artinya “Nafas Terakhir Orang Muslim”.

Tangisan yang begitu menyesakkan, seolah menjadi akhir dari kehidupan
seseorang yang pada awalnya ia adalah seorang raja. Dialah Abu Abdullah Muhammad
bin Al Ahmar Ash Shaghir, sosok yang paling bertanggung jawab atas runtuhnya
kekuasaan Islam di Granada, serta menandai akhir dari kemuliaan dan kejayaan
peradaban Islam di tanah Eropa.

Muhammad Abdullah Annan dalam Daulah Al-Islam fi Al-Andalus (7/194)
menceritakan kondisi Granada yang rapuh sebelum runtuh. Pertikaian saudara yang
terjadi antara raja saat itu, Ali bin Saad bin Muhammad Al-Ahmar dengan saudaranya,
Abu Abdullah Muhammad, dalam memperebutkan tahta kekuasaan berakhir dengan
perdamaian yang memaksa Granada dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan.
Pembagian dua wilayah ini menunjukkan perpecahan yang terjadi semakin meruncing,
sehingga tak ada lagi persatuan yang kokoh di antara umat Islam.

Kekuasaan Granada telah nampak begitu rapuh, sementara raja tidak
menyadari bahwa di sebelah utara Granada dikelilingi dua Kerajaan Kristen dengan
kekuatan besar, yaitu Kerajaan Aragon dan Kerajaan Castille. Granada semakin
terancam ketika Raja Aragon, Ferdinand V, menikahi pewaris tahta Castille, Isabella.
Puncaknya pada tahun 1479 M, kedua kerajaan tersebut bersatu menjadi satu kerajaan
bernama Kerajaan Spanyol. Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella menjadi pemimpinnya
yang kemudian keduanya disebut dengan gelar The Catholic Kings.

Proses runtuhnya peradaban Islam Andalusia tidak terjadi tiba-tiba hanya
dalam satu malam. Peradaban itu runtuh secara perlahan, buah akumulasi dari
keterpurukan moral dan kebodohan terhadap agama. Raja, bangsawan dan generasi
mudanya terbuai dalam cinta dunia. Mereka juga berkubang dalam kemaksiatan,
menjauh dari agama dan meninggalkan manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akibatnya, mereka menjadi malas dan mudah meninggalkan jihad fi sabilillah.
Mereka lupa bahwa kejayaan Andalusia dibangun dengan kemenangan yang
dihadirkan melalui ketakwaan para pejuang Islam pada masanya.

Kondisi internal diperparah dengan adanya perselisihan dan perpecahan antar
bangsawan dalam kerajaan. Raja kurang memahami ajaran agama, mudah
menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, serta menjadikan orang-orang kafir
sebagai orang kepercayaan dan orang yang dicintainya. Kebodohan merenggut
majunya peradaban kala itu, sehingga muncullah berbagai bentuk kepercayaan,
pemikiran dan aliran-aliran aneh yang tidak sejalan dengan akidah dan ajaran Islam.
Sisi lain, bersatunya kerajaan-kerajaan Kristen menjadikan kekuatan Islam
semakin tersudut. Betapapun gigihnya perlawanan pasukan Andalusia, pada akhirnya
tidak mampu lagi mempertahankan kejayaannya yang sudah terjaga sejak lebih dari
800 tahun. Peradaban Islam di Andalusia berakhir dengan tragis.

Kekalahan itu terjadi dengan penyerahan Granada dari Abu Abdullah
Muhammad kepada The Catholic Kings. Sejarawan Raghib As-Sirjani menceritakan,
“Beberapa hari setelah penyerahan tersebut, Ferdinand dan Isabella dengan sombong
memasuki istana Al-Hambra yang cukup besar dengan ditemani beberapa pendeta.
Tindakan resmi yang pertama kali dilakukan oleh mereka adalah memasang papan
salib berukuran besar yang terbuat dari perak di atas bangunan kerajaan (Granada).
Dari atas sana, Ferdinand menyerukan bahwa Granada telah tunduk kepada dua
kerajaan Katolik dan pemerintahan kaum muslimin sudah berakhir di negeri Andalusia.”

Tak Ada Ruang Lagi

Setelah penyerahan, Abu Abdullah Muhammad dipaksa meninggalkan
Granada. Apa yang disepakati tatkala penyerahan Granada seperti jaminan kebebasan
beragama, menjaga tempat ibadah umat Islam dan syarat-syarat lainnya yang terkait
dengan penyerahan, dengan mudah diabaikan begitu saja oleh The Catholic Kings.
Umat Islam semakin tertekan, hingga sebagian dari mereka terusir, sebagian lain
dibunuh dan mayoritas sisanya dengan terpaksa memeluk agama Kristen.

Perkembangan berikutnya, pada tahun 1051 M keluar perintah membersihkan
Granada dari orang-orang muslim. Tidak ada ruang bagi orang-orang Islam, kecuali
mereka harus memilih masuk Islam atau pergi meninggalkan tanah Andalusia. Fakta
sejarah mencatat, banyak orang muslim yang memilih masuk Kristen karena takut
dibunuh atau disiksa.

Penderitaan umat Islam tidak hanya sebatas tu. Kerajaan Spanyol juga
membentuk apa yang oleh Sejarah disebut sebagai “Dewan Inkuisisi”. Lembaga
peradilan yang berfungsi untuk menyiksa orang-orang Islam yang mengaku beragama
Kristen, namun dengan diam-diam masih memeluk Islam. Pemeriksaan yang tidak
manusia dan penyiksaan yang kejam turut menghiasi perjalanan suram lembaga ini.
Ketika Napoleon menaklukkan Spanyol, semua alat yang digunakan oleh Dewan
Inkuisisi untuk melakukan penyiksaan dapat diketemukan dan menjadi saksi sejarah
betapa kejamnya perlakuan lembaga kezaliman ini kepada umat non-Kristiani.

Tangisan Abu Abdillah Muhammad sesungguhnya bukanlah air mata yang
terakhir. Air mata itu akan selalu hadir hingga saat ini. Saat ketika umat Islam
mengingat kejayaannya di Andalusia selama lebih dari 800 tahun lamanya. Air mata
yang tidak akan mampu mengembalikan sejarah yang telah berlalu. Air mata itu,
setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi kaum muslimin di masa kini dan pada masa
yang akan datang. Tangisan yang akan kembali terulang ketika kita mempelajari bahwa
dahulu di negara Spanyol, Islam pernah berjaya, dan kini hanya tinggal catatan masa
lalu dalam buku sejarah.



Ditulis oleh :
Even Kurniawan, M.H.
(Pengamat Ghazwul Fikr dan Peradaban Islam)

Posting Komentar