Umar bin Khattab: Bayang Keadilan di Tengah Umat

Daftar Isi


 

Di antara jutaan manusia yang pernah hidup, ada satu generasi yang tak tertandingi keutamaannya—mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Mereka bukan hanya teman seperjalanan beliau, tapi juga pewaris cahaya petunjuk yang menerangi dunia hingga kini. Salah satu di antara mereka yang begitu menonjol adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, sosok pemimpin yang keras terhadap kebatilan, lembut kepada kebenaran, dan setia pada Islam tanpa tawar-menawar.

Umar dikenal sebagai Al-Faruq—pembeda antara yang haq dan batil. Sejak masa mudanya, ia sudah tampil sebagai pemuda tangguh, tegas, dan dihormati di kalangan Quraisy. Namun keislamannya adalah titik balik yang membuat sejarah Islam berubah. Ia memeluk Islam pada tahun keenam kenabian, dan sejak itu menjadi benteng kokoh bagi umat yang saat itu masih tertindas.

Yang luar biasa, banyak pendapat Umar yang kemudian diikuti oleh turunnya wahyu. Pendapatnya tidak hanya cerdas, tapi seakan selaras dengan ilham langit. Seorang sahabat yang doanya menembus langit, dan keberaniannya menembus barisan musuh. Saat ia berbicara, kebenaran terasa begitu terang. Dan ketika ia diam, wibawanya berbicara sendiri. Tak heran, para sahabat menyebutnya sebagai salah satu dari empat khalifah yang mendapatkan bimbingan langsung dalam kepemimpinan.

Ketika Abu Bakar wafat, umat sepakat memilih Umar sebagai khalifah. Namun jabatan tak membuatnya berubah. Ia tetap Umar yang sederhana, yang berjalan sendiri di malam hari untuk memastikan rakyatnya tidak kelaparan, yang tak butuh penjagaan meski menjadi orang paling berkuasa di muka bumi kala itu. Ia pernah berkata bahwa andai seekor keledai tergelincir di jalan Irak, maka Umar takut akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Dari tangannya, banyak keputusan besar lahir. Dialah yang memulai penanggalan Hijriyah. Dialah yang menyatukan umat Islam dalam shalat tarawih berjamaah. Dialah yang mengatur sistem administrasi wilayah, memberi gaji bagi pegawai, dan mengangkat hakim-hakim yang jujur. Namun semua itu ia jalani dengan kerendahan hati yang langka. Ia tetap orang yang sama—Umar yang ketika anak-anak melihatnya, mereka lari bukan karena takut, tapi karena wibawa.

Satu impiannya adalah mati syahid di jalan Allah. Itu yang selalu ia minta dalam doanya. Dan doanya dikabulkan. Suatu pagi di masjid, saat sedang mengimami shalat Subuh, Umar ditikam dari belakang oleh seorang Majusi bernama Abu Lu’luah. Luka itu membawanya kepada ajal. Namun sebelum wafat, ia sempat bersyukur karena Allah mewafatkannya di tangan musuh-Nya, bukan di tangan seorang mukmin.

Ia pun dimakamkan di tempat paling mulia, berdampingan dengan Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu—dua orang yang paling ia cintai. Wafatnya Umar bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari warisan besar: keberanian yang terbingkai dengan amanah, dan ketegasan yang berpadu dengan kasih.

Hari ini, kita mungkin tak bisa melihat Umar secara langsung. Tapi jejaknya masih bisa kita ikuti. Sikapnya, pikirannya, dan semangatnya masih mengalir dalam kitab-kitab, dalam sejarah, dan dalam hati orang-orang yang rindu keadilan sejati.


Posting Komentar