Wayang Intelektual
Di negeri yang penuh kemajemukan ini, sering kali umat Islam dikejutkan
dengan pernyataan atau tindakan segelintir orang yang menciderai hati kaum muslimin.
Segelintir orang ini bukan berlatar belakang awam, tetapi mereka adalah orang
berpendidikan tinggi, akademisi, tokoh masyarakat, dan sebagian lainnya disebut
sebagai ulama oleh para pengikutnya. Dengan kata lain, mereka juga mendapat
sebutan sebagai intelektual muslim.
Intelektual, sebutan bagi mereka yang mewakili kalangan penggebrak
kemapanan. Mereka tegak dalam berjalan ketika orang lain menunduk dalam
melangkah. Mata dan telinga mereka terbuka tatkala yang lain sengaja menyumpalnya
dan memilih larut dalam keheningan suasana. Hatinya peka, akal pikirannya terus
menggembara. Dalam berbagai kondisi, mereka tak hanya bersuara, tetapi juga
melakukan aksi. Benarkah demikian kenyataannya?
Berbalik ke belakang, istilah ‘intelektual’ sendiri pada awalnya memiliki konotasi
negatif di Barat. Intelektual lebih bermakna sebagai penghinaan daripada pujian,
sebagaimana Jean-Paul Sartre dalam Plaidoyer Pour les Intellectuals menyebut
intelektual sebagai “mereka yang sok tahu ikut mencampuri urusan orang lain.”
Syamsuddin Arif mengutip pernyataan menarik dari D. Bering. Bering
menyimpulkan bahwa intelektual sebagai cendekiawan yang selalu berseberangan
dengan penguasa, kritis dan memberontaki segala bentuk kemapanan dan status quo.
Mereka adalah orang-orang yang ‘berumah di atas angin’, tidak membumi (deracines),
tidak berkuasa dan hanya pandai bicara.
Inteleketual Menjadi Wayang
KBBI menyebutkan ada empat definisi wayang, yaitu; (1) boneka tiruan orang
yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan
untuk memerenakan tokoh dalam pertunjukan tradisional, (2) pertunjukan wayang, (3)
pelaku; orang suruhan yang bertindak sesuai dengan perintah orang lain, (4)
bayang-bayang.
Wayang dalam konotasi negatif merujuk pada sosok yang menjadi pelaku atau
orang suruhan yang bertindak sesuai dengan arahan ‘sang sutradara’. Sutradara bisa
saja diketahui atau tidak. Bisa berasal dari perorangan, lembaga atau bahkan negara.
Namun skenario yang harus dilakukan oleh wayang sudah jelas alurnya. Dan pada
masa sekarang, sosok wayang itu tak lagi dimainkan oleh orang awam, tetapi dengan hebat diperankan para intelektual yang tentunya enggan sekedar menjadi pemain
figuran.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana seorang yang berlabel intelektual
muslim –Yahya Cholil Staquf— hadir memenuhi undangan The Israel Council on
Foreign Relations sebagai pembicara, yang kemudian ramai menjadi topik
perbincangan di dunia nyata dan dunia maya. Tindakan Yahya juga melahirkan
pernyataan tegas dari berbagai pihak. Ketua Komisi Luar Negeri DPR RI Abdul Kharis
Al Masyhari –sebagaimana diberitakan Tempo.co tanggal 13 Juni 2018— menyebutnya
sebagai blunder dalam diplomasi politik internasional. Menurutnya, kunjungan tersebut
dapat merusak jalan diplomasi Palestina yang telah ditempuh sejak lama.
Pro-kontra pun pecah, lahirlah praduga dan prasangka.
Sebagian orang bertanya, apakah ia mewakili umat, lembaga ataukah pribadi? Adakah agenda yang
lebih besar di balik acara tersebut? Ataukah ia menjadi wayang intelektual untuk
memuluskan makar Yahudi Israel –sebagai awalan untuk meniti jalur pembuka
hubungan diplomatik Israel-Indonesia atau bahkan ada agenda yang lebih besar?
Fokus bahasan kita tidak menilai apakah Yahya Cholil sebagai wayang
intelektual atau tidak. Apapun perannya, pada kenyataannya tindakan yang dilakukan
oleh Yahya Cholil telah mampu menghadirkan keresahan dan menggoreskan luka bagi
sebagian besar kaum muslimin Indonesia.
Semoga beliau hanya khilaf, bukan sebagai ‘wayang’, dan semoga Allah memberikan petunjuk bagi beliau untuk menjadi intelektual
muslim yang turut serta ambil bagian dalam menegakkan agama-Nya di kemudian hari
agar luka umat dapat terobati.
Lakon yang Mengerikan
Wayang sebenarnya hanya sekedar pertunjukan yang ditujukan untuk
menghibur dan memberi pesan moral bagi penontonnya. Namun menjadi berbeda dan
mengerikan bila ia diperankan oleh para intelektual yang rela melepas jubah
idelismenya, menabrak cita-cita yang sejalan dengan hati nuraninya. Bahkan tak jarang
nilai-nilai agama pun digugatnya.
Mereka memerankan adegan drama talbis wa kitman al haq (mengaburkan dan
menyembunyikan kebenaran). Dipolesnya kemaksiatan, keburukan, atau kebatilan
hingga menjadi indah seolah selaras dengan ketaatan, kebaikan dan kebenaran.
Mereka berlindung dalam topeng hak asasi, demokrasi, kebebasan berpendapat dan
berkreasi, pembaharuan, kebudayaan, dan alasan pembenar sejenisnya.
Pada skenario yang lain, mereka memainkan adegan mengutak-atik apa yang
sudah jelas dan final, mendistorsi sejarah, memanipulasi sumber utama, dan
menawarkan ide-ide pembaharuan yang menyesatkan. Alasannya, ingin meninggalkan
kejumudan dan keajegan dalam berpikir dan beragama. Sungguh, wayang jenis ini
berusaha menikam agamanya dari belakang.
Demi untuk menjustifikasi pemikirannya, wayang intelektual tak segan mengutip
ayat-ayat Kitab Suci dan mencomot hadits yang menguntungkannya. Di sisi lain,
mereka menolak kebenaran demi mempertahankan ide-ide pembaharuan yang mereka
usung atau yang mereka dukung, meskipun bisa jadi mereka tahu bahwa apa yang
diperjuangkan adalah salah dan keliru.
Wayang intelektual bisa jadi hampir mirip dengan iblis. Kesalahan iblis bukan
karena ia tidak berilmu atau tidak tahu kebenaran. Hawa nafsu membuatnya
membangkang, takabur dan enggan mengikuti kebenaran. Begitu pula dengan sang
wayang, hanya karena hawa nafsunya, takabur, atau sedikit keuntungan dunia, ia tak
lagi mementingkan kebenaran, tetapi lebih mengutamakan pembenaran.
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-
ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-
orang kafir membencinya.” (QS. Ash Shaff: 8)
Ditulis oleh :
Even Kurniawan, M.H.
(Pengamat Ghazwul Fikr dan Peradaban Islam)
Posting Komentar