Ahmad Syara’ dan Jalan Damai Suriah yang Baru
Saatnya Melihat Suriah dengan Kacamata Baru
Krisis Suriah telah berlangsung lebih dari satu dekade dan menjadi salah satu konflik paling kompleks dalam sejarah dunia modern. Sejak gelombang protes pada tahun 2011, Suriah terjerumus dalam perang saudara, intervensi asing, dan krisis kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Kini, setelah tumbangnya rezim kejam Bashar al-Assad, muncul babak baru dalam upaya pemulihan negeri ini. Seiring dilantiknya Presiden Suriah saat ini, Ahmad Syara’, secercah harapan mulai terlihat.
Kekejaman Rezim Syiah Bashar al-Assad
Sebelum membahas perkembangan terbaru, penting untuk mengingat akar luka rakyat Suriah. Di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad, rezim Syiah itu terlibat dalam berbagai aksi kekerasan sistematis terhadap mayoritas Ahlus Sunnah. Kota-kota dibombardir, rumah sakit diserang, dan ribuan warga sipil – termasuk wanita dan anak-anak – menjadi korban kekejaman yang tak terperi. Penangkapan massal, penyiksaan di penjara, dan penghilangan orang secara paksa menjadi bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan.
Dalam situasi penuh penderitaan tersebut, rakyat Suriah bertahun-tahun menjerit meminta dunia internasional untuk bersuara. Namun, dunia hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, sementara darah tumpah di jalan-jalan Aleppo, Homs, dan Ghouta.
Sanksi Ekonomi: Hukuman Kolektif yang Melumpuhkan
Di tengah gejolak tersebut, sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya dengan dalih “menekan rezim” justru memperparah penderitaan rakyat. Meskipun sasaran resminya adalah rezim Bashar al-Assad, kenyataannya, sanksi tersebut menghantam keras masyarakat sipil.
Harga kebutuhan pokok melonjak, bahan bakar langka, rumah sakit kehabisan obat, dan kehidupan rakyat Suriah nyaris lumpuh. Inflasi yang menggila dan kelangkaan barang-barang penting menyebabkan jutaan orang terjerumus dalam kemiskinan ekstrem.
Sayangnya, pemahaman publik internasional – termasuk di Indonesia – terhadap dampak nyata sanksi ini masih sangat minim. Banyak yang melihat sanksi sebagai cara damai untuk menghukum penguasa lalim, tanpa memahami bahwa yang paling menderita adalah rakyat biasa.
Perubahan Arah Politik Pasca Kejatuhan Rezim Assad
Sejak penggulingan Bashar al-Assad, Presiden Ahmad Syara’ yang berlatar belakang mujahid memimpin Suriah dengan pendekatan yang berbeda. Dalam waktu singkat, ia berupaya membuka jalur-jalur diplomatik dan memperbaiki hubungan regional maupun internasional. Upaya diplomatik ini mulai membuahkan hasil, dengan adanya pelonggaran sebagian sanksi serta dukungan kemanusiaan dari sejumlah negara.
Langkah ini menandai transisi dari era isolasi menuju keterlibatan aktif di panggung global. Meskipun belum sempurna, pendekatan ini menunjukkan adanya kehendak kuat untuk membangun kembali negeri yang telah porak-poranda selama bertahun-tahun.
Presiden Syara’ tidak hanya mewarisi kehancuran ekonomi dan sosial, tetapi juga beban politik yang berat. Namun, keberanian untuk mengambil langkah diplomasi dan membuka ruang dialog dengan komunitas internasional menunjukkan niat serius untuk menyelamatkan rakyat dan memulihkan negara.
Koreksi Cara Pandang Publik
Di Indonesia, isu Suriah kerap dilihat dari kacamata ideologis. Banyak narasi yang menggambarkan konflik ini sebagai pertempuran antara rezim zalim melawan kelompok yang dianggap "pembela kebenaran", tanpa memahami kerumitan geopolitik di baliknya.
Faktanya, Suriah adalah medan konflik berbagai kepentingan besar: Iran, Turki, Arab Saudi, Rusia, dan Amerika Serikat—semuanya terlibat secara aktif. Berbagai faksi bersenjata lokal pun memiliki agendanya masing-masing, menjadikan konflik ini bukan sekadar perang ideologi, tetapi juga perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Sudah saatnya publik Indonesia melihat konflik Suriah secara lebih objektif dan berimbang. Yang paling penting bukan siapa yang paling benar secara politik, tetapi siapa yang paling menderita: rakyat Suriah.
Dukungan terhadap Pemulihan dan Normalisasi
Dengan adanya pemerintahan baru yang lebih terbuka terhadap dialog dan kerja sama internasional, Suriah memiliki peluang untuk bangkit. Dunia internasional seharusnya mendukung langkah-langkah pemulihan ini, bukan dengan mempertahankan sanksi, tetapi dengan mencabutnya secara bertahap sambil tetap mengawal jalannya reformasi politik dan tata kelola pemerintahan.
Normalisasi hubungan diplomatik dan reintegrasi Suriah ke dalam komunitas internasional bukan berarti menutup mata terhadap pelanggaran masa lalu, melainkan memberi kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyat Suriah.
Presiden Suriah Ahmad Syara’, dengan segala keterbatasannya, telah mengambil langkah yang layak diapresiasi: membuka ruang diplomasi, memperjuangkan pencabutan sanksi, dan mendorong rekonstruksi nasional. Ini adalah sinyal bahwa Suriah ingin bangkit dari puing-puing perang, bukan dengan kekerasan, tapi dengan keterbukaan dan diplomasi.
Kini saatnya dunia – termasuk masyarakat Indonesia – melihat Suriah dengan kacamata baru. Bukan lagi sebagai medan perang, tapi sebagai bangsa yang sedang berjuang untuk hidup kembali. Mendukung pemulihan Suriah berarti berpihak pada rakyatnya, pada kemanusiaan, dan pada masa depan yang lebih damai.
Posting Komentar