Eksploitasi Raja Ampat: Semakin Menguatkan Gagalnya Sistem Pengelolaan SDA Kapitalis

Daftar Isi

 


Eksploitasi Raja Ampat: Semakin Menguatkan Gagalnya Sistem Pengelolaan SDA Kapitalis

Oleh: Tresna Mustikasari, Muslimah Penggiat Literasi

Penambangan nikel di Raja Ampat mendadak menjadi sorotan publik. Wilayah yang selama ini dikenal sebagai surga biodiversitas laut dunia, kini tercoreng oleh citra deforestasi, sedimentasi laut, dan jejak korporasi tambang. Setelah berbagai tekanan dan aksi protes—baik dari aktivis lingkungan, pemuda Papua, hingga netizen—pemerintah melalui Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan izin empat perusahaan tambang di kawasan itu. Namun, satu perusahaan, PT Gag Nikel—anak usaha BUMN Antam—tetap melanjutkan operasionalnya karena dinilai memiliki dasar legal sejak masa kontrak karya Orde Baru (Kompas, 10 Juni 2025).

Bukan kali pertama hal ini terjadi—dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir pula. Yang membuatnya mencuat adalah besarnya tekanan publik, diperparah dengan fakta bahwa kerusakan terjadi di wilayah yang telah diakui dunia sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di bumi. Aktivitas tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat seperti Kawe dan Gag dinilai tidak sesuai dengan konstitusi. Regulasi yang dilanggar mencakup UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 27 Tahun 2007 yang mengatur Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pihak yang ikut menyoroti keras kasus ini adalah Greenpeace Indonesia. Greenpeace menggelar protes di Jakarta, menuntut agar tambang nikel di Raja Ampat segera dihentikan. Mereka menyebut proyek tersebut sebagai bentuk penipuan publik bertajuk greenwashing—menyulap perusakan alam seolah bagian dari solusi transisi energi. Dalam laporan Tirto (6 Juni 2025), Greenpeace secara tegas menuduh adanya kolusi antara negara dan korporasi tambang, yang memanfaatkan narasi energi hijau untuk meloloskan izin eksploitasi demi kepentingan oligarki.

Namun, meski Greenpeace dikenal sebagai organisasi lingkungan global yang lantang menentang kerusakan alam, sebagian pihak mulai mempertanyakan keberpihakan gerakan mereka. Pertanyaan itu muncul: apakah perjuangan Greenpeace murni untuk lingkungan, atau ada agenda yang lebih besar? Dengan dalih penyelamatan bumi, kekuatan global mendorong pengalihan aset-aset strategis negara ke tangan korporasi hijau asing, melalui standar ESG, jargon 'penghijauan', dan tekanan lingkungan yang mereka ciptakan sendiri. Maka tak heran jika sentimen publik terhadap LSM asing mulai bercampur: ada simpati, tapi juga kewaspadaan terhadap motif tersembunyi.

Apalagi ini Papua—bukan hanya soal emas atau nikel. Wilayah ini merupakan tambang geopolitik. Selain cadangan emas dan tembaga di Freeport, Papua juga menyimpan potensi besar nikel laterit berkadar tinggi, REE (rare earth elements), hingga uranium dalam jumlah indikatif. Semua bahan ini memainkan peran krusial dalam menentukan siapa yang memimpin peradaban: dari energi alternatif seperti baterai dan panel surya, hingga sistem pertahanan canggih.

Di tengah semua ini, wajah asli kapitalisme dalam mengelola sumber daya alam kembali tampak: rakus, oportunistik, dan menjadikan negara hanya sebagai regulator, bukan pengelola. Perusahaan dapat beroperasi meski jelas-jelas melanggar hukum. Alih-alih dilindungi, hutan-hutan ini malah dijadikan komoditas dagang demi menarik investor. Kerusakan lingkungan terjadi karena hukum bisa dibengkokkan, dan pemilik modal lebih berkuasa dibanding rakyat.

Islam memandang sangat berbeda. Syariat Islam menetapkan bahwa sumber daya alam yang strategis seperti tambang, air, dan energi termasuk dalam kepemilikan umum. Negara hanya bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik. Rasulullah ﷺ bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud). Artinya, tidak sah bila sumber daya tersebut dimonopoli oleh individu, korporasi, apalagi dijual ke asing. Hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan umat, bukan untuk segelintir elite.

Perlindungan terhadap alam merupakan kewajiban syar’i sebagai bentuk tanggung jawab khalifah di bumi. Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Dalam sejarah Islam, terdapat konsep hima, yaitu kawasan pelestarian yang tak boleh dieksploitasi sembarangan, bahkan oleh negara. Dengan demikian, meskipun negara wajib mengelola kekayaan untuk kepentingan umat, namun pengelolaannya tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak ada ruang bagi kerakusan atau eksploitasi berlebihan.

Inilah bedanya pengelolaan sumber daya alam dalam Islam. Bukan hanya soal distribusi hasil, tapi juga soal akidah, tanggung jawab, dan kemaslahatan umat serta alam semesta. Seorang pemimpin dalam sistem Islam bertanggung jawab langsung di hadapan Allah, bukan hanya di hadapan konstitusi. Ia akan menjaga agar SDA tidak menjadi rebutan korporasi, tidak dijual atas nama pembangunan, dan tidak menghancurkan lingkungan demi mengejar angka pertumbuhan.

Kasus Raja Ampat seharusnya bukan hanya jadi peringatan, tapi juga momentum. Momentum untuk menyadari bahwa sistem saat ini rusak dari akarnya. Bahwa selama kapitalisme menjadi dasar kebijakan, maka rakyat, alam, dan masa depan akan terus jadi korban. Maka solusi sejatinya bukan tambal-sulam kebijakan tambang, tetapi perubahan sistemik menuju syariat Islam yang adil, berdaulat, dan menjaga bumi sebagai amanah Ilahi.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar